Robayan, Tanpa Petinggi Malah Maju Pesat

Minggu, 10 Januari 2010

DESA Robayan, Kecamatan Kalinyamatan, Jepara adalah satu-satunya dari seluruh desa di Kabupaten Jepara yang tidak memiliki kepala desa (petinggi desa). Hampir dua tahun, tercatat sejak lengsernya petinggi desa terakhir, Milhan, desa tersebut vakum kepemimpinan. Untuk sementara, pimpinan desa diserahkan kepada carik desa.

Namun siapa sangka, desa yang terletak sekitar 200 meter arah selatan pertigaan jalan raya Gotri-Jepara, tepat di pinggir jalan raya Jepara-Demak itu, tetap maju pesat walaupun tanpa leader yang lazimnya ada. Desa yang berdiri di atas areal 98 ha itu dari berbagai sisi memiliki kemajuan sangat pesat.

Menurut penuturan Carik Robayan Mualimin (39), dari sisi ekonomi, desa berpenduduk 6.300 jiwa ini bisa dibilang sebagai miniaturnya Kota Kretek Kudus. Mengapa demikian? Desa yang masa lalunya pernah terkenal sebagai desa ''industri'' rokok tekik (puntung rokok) tersebut kini telah memiliki lebih dari 100 perusahaan kecil yang memproduksi rokok. Namun rokok yang diproduksi tidak lagi dari bahan dasar tembakau rokok tekik, tetapi mendatangkan tembakau dari Kudus, Temanggung, dan Klaten.

Dari jumlah perusahaan yang ada, setiap perusahaan menyerap sekurang-kurangnya 10 tenaga yang direkrut dari warga desa setempat. ''Maka jangan heran, di desa ini para perantau dan penganggur nyaris tidak ada. Mereka terpanggil untuk menekuni lapangan pekerjaan di desa sendiri,'' ujar Mualimin.

Meski industri rokok kecil-kecilan menjamur, tak berarti persaingan tidak sehat terjadi. Justru mereka mampu mengikat diri dalam kerja sama yang solid, baik dalam hal produksi maupun pemasaran.

Industri yang baru berkembang dua tahun terakhir itu telah melahirkan Koperasi Pengusaha Rokok Masyarakat Robayan (Kopero) dan Paguyuban Pengusaha Rokok Masyarakat Robayan (Papero).

Dari sisi sosial agama, keakraban hubungan sesama warga untuk membangun desa patut diacungi jempol. Dalam hal keamanan, gotong royong warga tampak dari lahirnya pengamanan masyarakat (PAM) swakarsa sejak Lebaran lalu.

Jarang sekali ditemukan desa industri yang masih kental nuansa paguyubannya. Saat merenovasi masjid, nuansa itu tampak sekali. Ratusan warga terjun secara bergiliran. Mereka tampak akrab dan ceria.

Renovasi masjid secara total yang diperkirakan menghabiskan dana sekitar Rp 2,3 miliar itu rencananya akan ditanggung masyarakat setempat. Maklum, desa yang terdiri atas 24 RT dan tiga RW itu termasuk desa santri. Madrasah dan pondok pesantren di sana cukup banyak.

Tidak ''Cucuk''

Lantas mengapa sampai terjadi kevakuman kepemimpinan? Mualimin menjelaskan, sawah bengkok untuk petinggi desa tersebut hanya 4,5 hektare yang terletak di Desa Karangrandu, Kecamatan Kalinyamatan. Sawah tadah hujan itu kalau disewakan tidak lebih dari 10 juta/tahun. ''Hasil itu barangkali dirasa tidak cucuk dibandingkan dengan kerja seorang petinggi desa,'' katanya.

Mualimin juga heran mengapa minat masyarakat untuk menjadi petinggi sama sekali tidak ada. Dia mengatakan, tahun 2002 lalu Pemkab melalui kecamatan dan aparat desa bekerja sama untuk membuka pendaftaran bakal calon (balon) petinggi desa.

Rencananya tiap RT mengusulkan dua bakal calon. Namun hingga batas akhir pendaftaran, tak satu pun orang yang mendaftar. Mereka seolah menyadari, walau tanpa petinggi desa, warga bisa berbuat yang terbaik buat desanya.

Hal itu, lanjutnya, setidaknya disebabkan oleh kerja sama yang baik antara para aparat desa, ulama, tokoh masyarakat, dan warga secara umum. ''Inilah kemandirian yang dicita-citakan warga desa ini. Mudah-mudahan kondisi ini bisa terjaga selalu,'' katanya. (Muhammadun Sanomae-15n)

[ Sumber : Suara Merdeka Edisi Rabu, 24 Nopember 2004 ]